Seminar Media dan Minoritas

Budaya, Representasi Makna dan/atau Penanda???

09.14 Lailiyanr 11 Comments


Sejenak teringat lagu lawas yang tadi aku dengar (gara-gara penjaga kos yang muter lagu lawas ini sih), “...wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu…”. 
Sebuah lagu dengan musik Jawa yang mendayu dan memilukan hati (menurutku). 
Tapi pertanyaannya, apakah lirik lagu itu masih relevan?
Apakah lirik lagu itu benar-benar menunjukkan perempuan Indonesia yang sesungguhnya?
Aku rasa ini tentang representasi budaya.

Berbicara mengenai representasi, sebelumnya sempat sedikit kita bahas (silahkan klik dan untuk penjelasan lainnya) mengenainya, dan kali ini kita akan membahas tentang representasi dan budaya.
Budaya adalah cara hidup yang dimiliki, disepakati, dan dikembangkan dalam sekelompok masyarakat hingga akhirnya diwariskan pada generasi selanjutnya. Budaya terbentuk dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Dan salah satu unsur terpenting dalam pembentukan budaya adalah adanya representasi terhadap sesuatu, sebagaimana yang diperlihatkan dalam putaran proses yang disebut “the circuit of culture”. Siklus ini menjelaskan bagaimana representasi menghasilkan budaya dan hal apa saja yang mempengaruhi dan dipengaruhinya.
“The Circuit of Culture”  (Gambar berdasarkan buku)
Seperti yang disebutkan sebelumnya, representasi merupakan bagian penting dari pembentukan makna budaya melalui bahasa (baik lisan maupun visual) yang mempengaruhi dipengaruhi oleh identitas, produksi, konsumsi, dan/atau regulasi. Sebagaimana yang bisa dilihat dalam siklus, setiap proses mempengaruhi satu sama lain. Identitas sendiri, menurut Hall, mengartikulasikan dua proses penting dalam rangkaian putaran budaya ini, yaitu produk dan konsumsi. Proses produksi dan konsumsi adalah proses produk budaya dibuat dan digunakan oleh masyarakat dalam kehidupannya. Hal ini kemudian mempengaruhi dibuatnya regulasi. Proses dalam putaran inilah yang membentuk adanya budaya yang menjadi sebuah proses berbagi makna.

THE WORK OF REPRESENTATION ~ Stuart Hall
Representasi adalah proses kunci dalam pembentukan makna budaya, karena melalui representasi makna diproduksi dan dipertukarkan dalam sekelompok anggota masyarakat. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri dari dua komponen penting, yaitu pikiran dan bahasa. Apa yang kita lihat, dengar, rasa dan sentuh akan terkonsep dalam pikiran kita dan kita mengetahui maknanya serta mengkomunikasikannya dalam bahasa. 
Tanpa bahasa, makna tidak dapat dikomunikasikan. Contohnya, kita menyebut tempat kita duduk adalah KURSI. Ketika seseorang mengatakan kata KURSI, kita bisa membayangkannya dan mengetahui maksudnya. Ini dikarenakan ada kesepakatan bersama terhadap bahasa yang digunakan untuk menyebutkan benda yang digunakan untuk duduk. 
Satu hal yang terpenting dalam proses produksi dan pertukaran makna budaya adalah kesamaan latar belakang pengetahuan sehingga kelompok tersebut dapat menciptakan pemahaman yang bisa dikatakan sama atau mendekati sama. Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan dapat memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain. (h.17) 
Makna tidak lain adalah sebuah konstuksi sosial melalui pertukaran kode yang kelihatannya terbentuk secara alami dan seakan tidak dapat diubah. Pertukaran kode tersebut yang kemudian membuat masyarakat dalam satu latar belakang budaya yang sama akan mengerti dan menggunakan nama yang sama untuk suatu hal. Kode menghubungkan konsep yang ada dalam pikiran kita dengan sistem bahasa yang digunakan. (h.25)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa representasi merupakan proses pembuatan makna yang pengaruhi oleh sistem representasi dan bergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda.

REPRESENTING THE SOCIAL: FRANCE AND FRENCHNESS IN POST-WAR HUMANIST PHOTOGRAPHY ~ Peter Hamilton 
Representasi budaya rekonstruksi pasca perang juga terlihat dalam praktek fotografi. Hamilton mengatakan bahwa ideologi humanisme mendominasi budaya ini dan tercermin dari beberapa artefak fotografi yang ada. Pendekatan fotografi ini disebut ‘fotografi humanis’ karena fokus utamanya adalah kehidupan sehari-hari orang biasa yang membentuk permasalahan pers. Terdapat dua kategori representasi dari ilustrasi fotografi documenter, yaitu:
  1. Dokumenter sebagai representasi objektif : Dalam representasi ini gambar hanyalah catatan sederhana, hanya menyajikan fakta dan informasi yang sesungguhnya. (H.81) 
  2. Dokumenter sebagai representasi subjektif : Nilai informasi dokumenter dimediasi melalui perspektif pembuatnya dan disajikan sebagai perpaduan emosi dan informasi. (H. 83) 
dipinjam dari
Enam elemen yang dapat membantu dalam mengkategorisasikan fotografi dalam paradigma humanistik:
  1. Universalitas: sentralitas 'universal' emosi manusia sebagai subyek 
  2. Historisitas: spesifisitas tempat dan waktu dalam framing (misalnya kontekstualisasi latar belakang) gambar 
  3. Quotidienality: konsentrasi pada kehidupan sehari-hari
  4. Emphaty: rasa empati atau keterlibatan dengan subjek representasi 
  5. Commonality: sudut pandang fotografer dari kelas dominan
  6. Monochromaticity: gambar diterjemahkan dalam monokrom 
Dalam chapter ini dibahas pula bagaimana peran jurnalis foto dan bagaimana karakter tunawisma dan kaum marginal dalam ilustrasi foto. Bagaimana tunawisma dan kaum marginal direpresentasikan sebagai bagian dari integral rakyat kota dan mewakili masyarakat mikrokosmik.

THE POETICS AND THE POLITICS OF EXHIBITING OTHER CULTURES ~ Henrietta Lidchi
Chapter ini membahas tentang bagaimana representasi secara puisi dan politik. Chapter ini juga menjelaskan museum dan bagaimana museum dapat mewakili budaya lain. Ludchi mengatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam memahami makna budaya, pertama puisi, kita melihat bagaimana makna dibangun dan diproduksi, kedua politik, yang mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan budaya lain dan negara lain. (h. 121)
Dalam chapter ini juga dijelaskan tentang konsep “cabinet of curiosities” dari John Tradescant yang kemudian disebut dengan “museum”. Aspek penting dari museum menurut Tradescant, yaitu: representasi, klasifikasi, motivasi, dan interpretasi. (h. 123-126.)
Lidchi mengatakan bahwa Museum kemudian menjadi makna arbiter dikarenakan posisi kelembagaannya yang memungkinkan untuk mengartikulasi dan memperkuat kredibilitas ilmiah dari kerangka pengetahuan atau formasi diskursif melalui metode-metode pertunjukan.” (h. 170)

THE SPECTACLE OF THE ‘OTHER’ ~ Stuart Hall
Ketika represantasi kita mewakili kelompok masyarakat lain dan hal itu kita yakini tidak peduli benar atau salah, itulah yang disebut dengan stereotipe. Stereotipe ini melibatkan perasaan, sikap dan emosi, dan juga menimbulkan ketakutan dan kecemasan. Dalam situasi yang berbeda, perbedaan ras dapat diidentifikasi melalui unsur-unsur lain dari perbedaan, seperti jenis kelamin, seksualitas, kelas dan cacat. Perbedaan ini kemudian diartikan sebagai upaya yang berkelanjutan untuk berfokus pada representasi orang-orang yang memiliki ras dan etnis berbeda dari kebanyakan mayoritas masyarakat.

Adapun karakteristik dari stereotipe menurut Hall diantaranya:
  1. Stereotipe mengurangi, mengesensialisasi, naturalisasi, dan memperbaiki ‘difference’. 
  2. Stereotipe adalah strategi membelah: Menormalkan yang tidak normal, menerima yang tidak diterima, dan kemudian menghapus segala sesuaty yang tidak sesuai, yang dari awal memang berbeda. Upaya menutup dan mengeksklusi elemen lain dari stereotipe. 
  3. Stereotipe selalu terjadi di saat ada ketimpangan kekuasaan: Artinya dominasi dan kekuasaan akan menyebabkan adanya upaya mengusir dan mengeluarkan kaum subordinat dengan stereotipe. Hal ini menimbulkan Etnosentrisme, penerapan norma-norma budaya milik sekelompok orang kepada kelompok lain 
Adanya stereotipe ini secara langsung ataupun tidak langsung melanggengkan praktek hegemoni kaum dominan kepada kaum lainnya untuk mempercayai dominasinya secara alami dan tidak terelakkan.

EXHIBITING MASCULINITY ~ Sean Nixon 
Chapter ini lebih membahas bagaimana stereotipe tentang maskulinitas ditampilkan dan didefinisikan. Fokus utama dari bagaimana maskulinitas didefinisikan sebenarnya hanya ada pada posisi tubuh yang menandakan kemerdekaan dan percaya diri.
Jika kita kembali ke beberapa pembahasan sebelumnya (klik ), Judith Butler mengatakan bahwa seks (male/female) sebagai penentu dari gender (masculine/feminine) dan gender bukanlah sebuah identitas yang stabil. Gender dapat berubah-ubah baik di waktu yang sama ataupun pada waktu yang berbeda.
Begitupun dalam iklan. Maskulin tidak hanya merepresentasikan kaum pria. Meskipun demikian, menurut Nixon, pria sebenarnya masih dominan dalam masyarakat dan hal itu terlihat pula dalam iklan. Foto iklan yang diperankan oleh pria akan berbeda dengan konsep iklan yang diperankan wanita, begitupun di Indonesia. Kita ambil contoh, produk yang diidentikkan dengan pria adalah rokok. Iklan rokok mengalami perubahan dari masa ke masa. Penggambaran laki-laki dan perempuan sebagai konsumen sungguh berbeda. *selengkapnya dalam 🔺*

gambar dipinjam dari sini

GENRE AND GENDER: THE CASE OF OPERA SABUN ~ Christine Gledhill
Chapter terakhir dalam buku ini lebih membahas mengenai produksi opera sabun (jika di Indonesia adalah sinetron) yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan. Gledhill berasumsi bahwa opera sabun atau sinetron adalah genre dari perempuan yang dirancang untuk menarik, mencandui dan menjebak perempuan pada peran gender yang sudah beredar dalam tradisi dominan. Dengan kata lain, opera sabun atau sinetron membuat pemirsa perempuan terjebak dalam posisi yang tidak ideal.
Seperti halnya di Amerika (berdasarkan pembahasan Gledhill), sinetron di Indonesia juga menjebak sosok perempuan dalam sebuah stereotipe yang tidak menguntungkannya. Sebut saja beberapa sinetron terpanjang di Indonesia (silahkan chek di ), perempuan tidak digambarkan sebagaimana perempuan yang sebenarnya.
Gambar dipinjam dari
Opera sabun atau sinetron dianggap mengekspresikan perasaan yang kuat dalam setiap episodenya. Menurut Gledhill, sinetron masih menunjukkan stereotipe tentang perempuan, bukan citra perempuan yang sebenarnya, tapi lebih kepada representasi dari pria dan wanita.

Representasi kemudian dapat dikatakan tidak hanya membentuk makna budaya, namun juga representasi menimbulkan stereotipe terhadap salah satu kelompok melalui media apapun.



Referensi:
Representation: Cultural representation and signifying practice. Stuart Hall, 1997*
Kolkasabi, S. (2014). France and Frenchness in post-war Humanist Photography by Peter Hamilton. diakses dari https://prezi.com/jergwftzes5v/copy-of-france-and-frenchness/
Blumberg, A, (2014). Chapter 3: The Poetics and the Politics of Exhibiting Other Cultures. diakses dari https://prezi.com/akjkwcqonupc/chapter-3-the-poetics-and-the-politics-of-exhibiting-other/
halliewinant. (2015). Study set of "Hall: The Spectacle of the "Other". diakses dari https://quizlet.com/71374860/flashcards
The Spectacle of the Other, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=-TWsaUHmTpU
Ijh1. (nd). Exhibiting Masculinity: Sean Nixon, diakses dari https://ijh1.wordpress.com/2014/09/22/exhibiting-masculinity-sean-nixon/
https://kumparan.com/sari-dewi/10-sinetron-indonesia-dengan-episode-terpanjang




*mohon maaf file ebook tidak utuh satu buku dikarenakan penulis tidak menemukan ebook yang utuh. Per chapter bisa di download dari ⚶ pada judul chapter meski tidak keseluruhan tersedia. Terimakasih

You Might Also Like

11 komentar:

  1. keren banget tulisannya.. jadi representasi merupakan bagian penting dari pembentukan makna budaya melalui bahasa (baik lisan maupun visual) yang mempengaruhi dipengaruhi oleh identitas, produksi, konsumsi, dan/atau regulasi ya.. Selain itu representasi juga menimbulkan stereotipe terhadap salah satu kelompok melalui media apapun. Jadi jelas deh mengapa ada dan dilanggengkan stereotipe terhadap perempuan yaitu untuk melanggengkan praktek hegemoni kaum dominan kepada kaum lainnya untuk mempercayai dominasinya secara alami dan tidak terelakkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Handrini.... representasi sangat mempengaruhi terbentuknya makna budaya. dan akan berbeda ketika kita memiliki perbedaan latar belakang pengetahuan...
      Terimakasih atas responnya

      Hapus
  2. Mba lail you hit the nail in the head! menarik sekali pembahasan mengenai Exhibiting Masculinity milik Sean Nixon yang mba lail contohkan dengan iklan komersial rokok yang telah berevolusi dari waktu ke waktu.. dulu dan kini perbedaannya begitu terasa ya mba..iklan rokok di Indonesia jaman dahulu selalu menyertakan perempuan dan digambarnya perempuan itu benar-benar merokok artinya rokok disini bersifat netral bukan menjadi simbol dari gender tertentu saja. Kini kalau diperhatikan perempuan memang masih sering tampil dalam iklan rokok, tapi peran perempuan di iklan-iklan rokok tersebut tidak lagi ditampilkan merokok tetapi seolah hanya menjadi aksesoris bagi peran lelaki utamanya, perempuan hanya menjadi pelengkap dalam iklan tersebut yang sebenarnya berguna untuk menciptakan citra "lelaki maskulin selalu dikelilingi oleh perempuan".

    Apakah ini bisa dibilang sebagai bentuk dari kemunduran kesetaraan gender di Indonesia ya mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau menurutku pribadi, salah satunya tidak lepas dari regulasi juga ya mbak Za...
      Aku kurang paham juga maksudnya mbak Zaza dengan kemunduran kesetaraan gender. dan kesetaraan, menurutku, bukan berarti sama mbak za...
      Adanya perbedaan penggambaran perempuan dalam iklan rokok, selain karena regulasi, menurutku juga karena representasi perokok yang berkembang di masyarakat mbak.

      Hapus
  3. Pembahasan yang menarik, Mbak Lail, khususnya mengenai iklan rokok dari masa ke masa. Jadi timbul pertanyaan di benak saya, munculnya rokok dengan batang yang lebih kecil menargetkan kalangan perempuan sebagai konsumennya. Jenis nya pun juga bermacam-macam, kebanyakan rasa menthol. Kenapa harus dibedakan begitu ya? Rokok ya tetap rokok, toh sama-sama tidak baik untuk kesehatan. Jika dilihat dari iklan-iklan rokok jaman dulu, perempuan juga ditampilkan sebagai perokok dalam iklan. Namun sekarang, nampaknya jika perempuan merokok maka akan identik dengan perempuan yang tidak baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama seperti yang aku sampaikan ke mbak zaza, perubahan itu tidak lepas dari regulasi yang dipengaruhi dan/atau mempengaruhi representasi dari rokok itu sendiri. bagaimanapun budaya yang dominan di masyarakat akan mempengaruhi diterima atau tidaknya perempuan perokok.

      Hapus
  4. Membaca ini semakin menegaskan bahwa ada kaitannya antara kekuasaan dengan praktik pengstereotipean kelompok tertentu ya Mba Lail. Sinetron Indonesia dulu dan sekarang, entahlah, menurutku mengalami kemunduran kualitas secara sisi cerita ya. Tapi, tema besar sinetron itu selalu sama. Pokoknya tokoh utama perempuan kebanyakan teraniaya, sampai rasanya ga masuk akal kok bisa-bisanya ada manusia masih bertahan aja sebegitu sengsara dan tersiksanya 😅. Sebenernya akupun sedikit tertarik untuk mencaritahu lebih jauh, coba perhatikan produk-produk film dan novel yang ditujukan untuk audiens perempuan deh. Kebanyakan alur ceritanya ringan, mudah ditebak, ga perlu banyak mikir, dan mengharu biru. Apa ini artinya perempuan berusaha dibentuk oleh para penguasa supaya istilahnya 'jangan kritis-kritis amat' dan semakin diasah sisi emosionalnya supaya jadi makhluk yang semakin 'labil emosinya' ya? Eh... tunggu. Jangan-jangan aku yang kemakan sistem? Hahahaha 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Kenny, tidak hanya di sinetron, di film ataupun novel pun menurutku juga demikian meskipun tidak separah sinetron dan ftv.
      kembali ke bahan dua minggu lalu yang dibahas oleh mbak Handrini, Meehan berpandangan bahwa terdapat dominasi kelas dalam industri media, di mana selera khalayak sebagai konsumen diarahkan sesuai dengan keinginan para pemilik media melalui konten yang disajikan oleh media yang dimilikinya. Dan adanya sistem patriarki menjadi salah satu penyebab mengapa perempuan cenderung lebih konsumtif terhadap media daripada laki-laki.
      Pada akhirnya konten yang disajikan, khususnya sinetron dibuat lebih mengekspesikan emosi agar menarik perempuan dan menguntungkan dominasi laki-laki.
      Itu sih menurutku....

      Hapus
  5. Wow lail!kereeen,hehe. Aku tertarik dengan pembahasan puisi dan museum dalam chapter the poetic itu. Mengapa justru karya puisi yang menjadi pendekatan dalam memahami makna budaya ya? Padahal kan kita tahu ya kalau makna dalam puisi banyak tersembunyu di balik kiasan yang mungkin hanya bisa dimaknai secara utuh oleh pengarangnya. Mengapa bukan bentuk karya sastra lain yang cenderung lebih mudah untuk dimakna? Kalau untuk museum,baru tersadar- Iya juga ya,museum adalah tempat yang strategis untuk mengartikulasi atau meneguhkan sebuah kerangka pemikiran. Mungkin karena museum di Indonesia tidak begitu populer ya,hingga belum pernah terpikir sebelumnya mengenai museum. Menurutku, sarana yang kemudian justru banyak dipakai untuk merepresentasikan budaya saat ini dalam konteks indonesia lebih ke film ya,berbagai sejarah tentang tokoh ataupun pergerakan dirangkum dan direpresentasikan dalam bentuk film yang renyah untuk dikonsumsi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak... Sayangnya masyarakat di Indonesia kurang aware terhadap museum yang sebenarnya sangan membantu kita dan membuka kerangka pikir kita.
      Dan yang disayangkan pula, berbagai sejarah tentang tokoh ataupun pergerakan dirangkum dan direpresentasikan dalam bentuk film tidak sepenuhnya menggambarkan sejarah atau tokoh yang sesungguhnya. selalu ada 'bumbu' komersial untuk menjual film tersebut. Bahkan jika perlu, sejarah diputar balikkan untuk kepentingan kelompok dominan. sebut saja, contoh dalam tulisan mbak Handrini minggu ini, Dracula Untold.

      Hapus
  6. Good!, review yang menarik, merangsang pembaca untuk mengkonsumsi lebih lanjut bukunya Stuart Hall tersebut secara utuh. Lalu, terkait dengan lirik lagu “...wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu…”. Apakah lirik lagu tersebut masih relevan untuk saat ini? Menurut Saya, lirik lagu tersebut masih bisa merepresentasikan perempuan Indonesia, selama mereka masih hidup di lingkungan patriarki. Sistem patriarki menganggap laki-laki lebih baik dan lebih unggul daripada perempuan. Di lain pihak, perempuan tidak bisa bebas berekspresi, karena berada dalam tekanan paham patriarki. Perempuan dikonsepsikan sebagai ’Konco Wingking’ bagi laki-laki. Selain itu, image perempuan dilekatkan dengan 3M (Masak, Macak, Manak). Inilah realita perempuan di bawah bayang-bayang patriarki, suatu ironi!
    #041, #SIK041

    BalasHapus

Kirimkan ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Berbagi ke Google Buzz