Seminar Media dan Minoritas

Performative Acts and Gender Constitution: Sebuah Esai dalam Teori Fenomenologi dan Feminisme ~ Judith Butler

03.59 Lailiyanr 16 Comments



gambar dipinjam dari sini

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata SEKS atau JENIS KELAMIN?
Bagaimana dengan kata GENDER?


Esai berjudul Performative Acts and Gender Constitution: an Essay in Phenomenology and Feminist Theory yang ditulis oleh Judith Butler (1988) membahas tentang Gender, Teori Performativitas Gender, dan titik pandang Fenomenologis Feminis mengenai gender. Esai ini merupakan awal dari buku yang berjudul Gender Trouble. Butler membandingkan teori fenomenologis Edmun Husserl, Maurice Merleu-Ponty, dan Goerge Herbert Mead di awal tulisannya yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa agen sosial merupakan realitas sosial melalui bahasa, gestur, dan semua penanda sosial yang diperlihatkan.

Gender, menurut Butler, adalah “tindakan” yang dilakukan berulang sepanjang waktu dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Tindakan yang dimaksudkan di sini adalah gerak tubuh jasmani dan gaya yang dilakukan seseorang, termasuk bahasa yang diucapkan secara berulang. Gender merupakan konstitusi identitas budaya dan sosial yang dilembagakan yang dihasilkan melalui penampilan dan permainan peran serta bersifat performatif. Gender bukanlah sebuah identitas yang stabil, gender dapat berubah-ubah baik di waktu yang sama ataupun pada waktu yang berbeda

gambar dipinjam dari ini
Ketika kita bertindak dan berbicara sesuai dengan gender, maka kita aktif membenarkan hal itu, mereplikasinya, dan menguatkannya. Tindakan kita, cara kita menunjukkan gender menciptakan sebuah rekaan sosial yang mewujudkan sifat gender itu sendiri. 

Pada esainya ini, Butler membahas mengenai jenis kelamin (seks) dan gender dari segi Fenomenologi dan FeminisDalam membedakan jenis kelamin (seks) dengan gender, terdapat dikotomi antara keduanya. Teori Feminis membantah penjelasan kausal yang menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) mendikte atau memerlukan makna sosial tertentu untuk pengalaman wanita. Sedangkan teori Fenomenologi lebih melihat pada struktur tubuh dan makna yang terkandung di dalamnya untuk diasumsikan dalam konteks pengalaman hidup.Misalnya saja, seperti yang sudah berkembang di masyarakat pada umumnya bahwa jenis kelamin terdiri dari wanita atau pria, sedangkan gender adalah feminim atau maskulin.

Menurut Merleu-Ponty, tubuh adalah seperangkat kemungkinan yang menandakan: penampilan di dunia, persepsi,tidak ditemukan oleh semacam esensi interior; dan ekspresi konkret di dunia harus dipahami sebagai sebuah perangkat kemungkinan sejarah.

Sedangkan Beauvoir mencoba menjelaskan makna dari apa yang disebut sebagai "wanita". Beauvoir mengklaim bahwa "wanita" adalah ide sejarah bukan fakta alami. Terdapat perbedaan antara jenis kelamin (seks) yang menjadi faktisitas biologi, sedangkan gender sebagai interpretasi budaya atau signifikasi dari faktisitas tersebut. Seorang “wanita” akan dikatakan sebagai wanita ketika dia menunjukkan tindakan sebagai wanita sesuai dengan interpretasi budaya. Gender adalah konstruksi yang secara teratur dilakukan dan disembunyikan asal usulnya. Misalnya saja, seseorang terlahir sebagai seorang wanita secara jenis kelamin, maka diharapkan dia akan berperilaku feminin sesuai dengan gender yang dilekatkan untuk mendefinisikan "wanita".
Selanjutnya Beauvoir mengklaim bahwa wanita adalah "situasi historis". Beauvoir menekankan bahwa tubuh mendapatkan konstruksi budaya tertentu yang kemudian mempengaruhi bagaimana wanita harus bertindak. Dari klaim Beauvoir ini disebutkan bahwa dari segi budaya tidak akan mungkin diketahui jenis kelamin yang berbeda dari gender, dan terdapat sebuah konfigurasi alami dari tubuh ke jenis kelamin yang ada dalam hubungan biner satu sama lain.
Baik pandangan fenomenologi maupun feminis pada akhirnya tidak memiliki kategori yang universal untuk identitas gender dari “wanita”.

Selanjutnya Butler membicarakan mengenai Binary Genders and the Heterosexual Contract. Butler menjelaskan bahwa terdapat konstruksi yang menjadikan jenis kelamin atau gender yang menyimpang (yang disebut: Gender Diskrit) dari konstruksi budaya adalah sesuatu yang salah. Budaya feminis dan studi kekerabatan menunjukkan bagaimana budaya yag diatur oleh kovemsi yang tidak hanya mengartur dan menjamin produksi, pertukaran, dan konsumsi barang material tetapi juga mereproduksi ikatan kekerabatan itu sendiri. Masyarakat telah memiliki aturan bahwa reproduksi seksual harus berbasis pernikahan heteroseksual. 
Ketika seseorang menunjukkan menunjukkan gender yang tidak sesuai dengan hasil konstruksi sosial masyarakat yang berlaku pada jenis kelamin tersebut, maka budaya atau lingkungan akan menghukumnya. Budaya kemudian dengan mudah dapat memarjinalkan seseorang yang memiliki gender diskrit atau yang gagal dalam melaksanakan ilusi esensialisme gender. Misalnya saja, pernikahan sejenis yang beberapa waktu lalu, bahkan hingga saat ini, masih menjadi kontroversi dan dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari segi manapun. 

Feminis liberal pada 1960-an dan 1970-an dianggap sebagai subjek dari kategori “wanita” yang stabil, pasti, dan entitas yang terbukti dengan sendirinya untuk perwakilan politik. Sedangkan feminis postmodernis berpikir sebaliknya, mereka mempertanyakan pemersatu “wanita” yang, menurut mereka, tak hanya merepotkan tapi juga eksklusif dan represif. Hal ini dikarenakan: wanita tidak dapat disatukan atas dasar impregnasi; hal itu mengabaikan perbedaan antara perempuan dalam hal ras, kelas, dan etnis; kecuali mereka yang gagal memenuhi syarat normative, mereka diabaikan dan merupakan minoritas, seperti lesbian.

Di sesi akhir tulisannya, Butler lebih menekankan pada pembahasan model gender dalam teori Feminis. Menurut Butler, pandangan mengenai gender tidak ditimbulkan sebagai teori komprehensif mengenai definisi gender dan bagaimana mengkonstruksinya. Butler menjelaskan tentang pendapat Gayatri Spivak yang menganggap bahwa kaum feminis perlu bergantung pada esensialisme operasional, ontology yang salah mengenai wanita dalam rangka memajukan program politik feminis. Spivak mengetahui bahwa kategori “wanita” tidak sepenuhnya ekspresif. Pemikiran ini serupa dengan pemikiran Kristeva yang mengatakan bahwa kaum feminis menggunakan kategori perempuan sebagai alat politik tanpa menghubungkan integritas ontologis. Sedangkan Anne Warren berpendapat bahwa kebijakan sosial mengenai pengendalian populasi dan teknologi reproduksi justru menghancurkan keberadaan kaum wanita.

Untuk mendeskripsikan bagaimana seharusnya wanita dari segi jenis kelamin atau gender memerlukan diskursus yang kompleks. Meskipun beberapa kritikus sastra feminis menunjukkan beberapa perbedaan wanita dari segi jenis kelamin dan gender, namun ini masih tidak bisa menjelaskan sepenuhnya. Butler mengusulkan teori performativitas gender untuk hal ini. Butler menekankan bahwa terdapat esensialisme dalam identitas gender. Teori performa mengacu pada wacana atau tindakan dalam masyarakat yang dilakukan berulang dan menghasilkan pengertian mengenai jenis kelamin dan gender, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan berdasarkan konstruksi pengalaman. Terlepas dari karakter “patriarki” dan prevalensi perbedaan seksual sebagai perbedaan budaya, tidak ada sistem biner yang diberikan. Gender adalah apa yang dikenakan, apa yang dikendalikan, apa yang dilakukan, dana apa yang diucapkan terus menerus dan berulang. Dan jenis kelamin, gender, dan heteroseksual adalah produk sejarah yang telah menjadi bias dari waktu ke waktu. 




Referensi:
Mary, P. (2012). JudithButler
____. (2017). Judith Butler

You Might Also Like

16 komentar:

  1. Contoh yang menarik tentang gender dan sex buat mba lail baca.. :)

    https://www.buzzfeed.com/patrickstrudwick/this-is-what-its-like-when-you-have-no-gender?utm_term=.iqdxK8mXN#.edr8aVNoL

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih untuk masukannya mbak Zaza

      Hapus
  2. Unesco (2002:20-21) mendefinisikan gender equality (kesetaraan gender) dan gender equity (keadilan gender) sebagai berikut:

    equality between men and women entails the concept that all human beings, both men and women, are free to develop their personal skills and make choices without limitations set by stereotypes, rigid gender roles and prejudices. Gender equality means that the different behaviors, aspirations and needs of women and men are considered, valued and favoured equally. It does not mean that that women and men have to become the same, but their rights, responsibilities and opportunities will not depend on whether they are born male or female.

    Gender equity: Fairness in the treatment of women and men, according to their respective needs. This may include equal treatment or treatment that is different but which is considered equivalent in terms of rights, benefits, obligations and opportunities. (Dalam https://www.google.co.id/amp/www.kompasiana.com/amp/prijadji/pendidikan-berperspektif-gender_550003caa333112c7050f9ba)

    Jadi, permasalahan gender itu milik kaum laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender, sesungguhnya bisa dijadikan sebagai strategi pembangunan negara--dengan cara memberi kebebasan pada perempuan pula untuk turut maju. Setara bukan berarti sama, tetapi memiliki kebebasan bereksplorasi sesuai kebutuhan masing-masing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih mbak kenny masukkannya.
      saya setuju dengan mbak kenny bahwa masalah gender adalah milik laki-laki ataupun perempuan. namun Butler disini lebih menekankan pada masalah gender perempuan.
      Setara tak berarti sama, saya setuju. menurut saya, setara berarti sesuai porsi, kapasitas, kebutuhan, serta kemampuan masing-masing.
      Hanya saja, menurut saya, sebagian besar produksi budaya belum mencerminkan kesetaraan itu sendiri.
      Masyarakat masih belum bisa mengkategorisasikan dengan pasti mana Does and Doesn't dalam karakteristik setiap gender.

      Hapus
  3. "Gender bukanlah sebuah identitas yang stabil, gender dapat berubah-ubah baik di waktu yang sama ataupun pada waktu yang berbeda." nah belum paham nih Laili tentang pendapat ini.. belum paham juga dengan pendapat Butler yang mengatakan bahwa terdapat konstruksi yang menjadikan jenis kelamin atau gender yang menyimpang (yang disebut: Gender Diskrit) dari konstruksi budaya adalah sesuatu yang salah. Terima kasih untuk pencerahannya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut Butler, Gender bukanlah sesuatu yang pasti dapat terlihat secara fisik layaknya Jenis Kelamin. Identitas gender setiap orang bisa berubah mbak.
      Seseorang bisa menjadi maskulin atau bisa menjadi feminim dalam waktu yang bersamaan. Jadi, Perempuan tidak harus selalu feminim, dan laki-laki tidak harus selalu maskulin.

      Yang dimaksud gender diskrit adalah seseorang yang memiliki Gender yang berbeda dari apa yang sudah ditetapkan oleh konstruksi masyarakat. misalnya saja lelaki kemayu atau seseorang yang homoseksual. Masyarakat masih menganggap bahwa hal itu adalah salah.

      Hapus
    2. Terimakasih responnya mbak...

      Hapus
  4. Lail..karena kamu perempuan muslim, sebenarnya ingin mendengar pandanganmu sendiri tentang gender seperti apa, dikaitkan dengan nilai-nilai yang kamu percayai. Sejujurnya -sebagai penganut tentunya- aku percaa bahwa Islam itu tak pernah mengekang perempuan, Islam itu hadir dengan kedamaian. Namun memang agak sedikit mengganggu saat akhirnya Islam agaknya seringkali dikambing hitamkan dalam konteks gender ini. Padahal menurutku sendiri, ada irisan di antara keduanya, walaupun juga tak bisa diadopsi seutuhnya. Mungkin lain kesempatan, dalam tulisan berbeda kamu bisa eksplore sudut pandangmu ya lail :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf sebelumnya mbak Hani jika ternyata tulisanku diluar ekspektasi.
      Aku juga merasa sebenernya mbak kalau dalam tulisan ini masih belum dapet sense-nya. Maksudku aku masih belum sependapat dengan Butler, dan itu masih belum tertuang dalam tulisanku.
      Menurutku, baik laki-laki atau perempuan memiliki keistimewaan masing-masing. bukan berarti harus sama.
      Kenapa dalam Islam laki-laki memiliki hak waris lebih besar dari perempuan, bukan karena laki-laki lebih berkuasa, tapi karena meskipun dia sudah menikah dia masih bertanggung jawab atas ibu, istri, anak, dan saudara kandung perempuannya. Sedangkan perempuan, ketika dia sudah menikah ya dia udah jadi tanggung jawab sang suami.
      Menurutku itu bukan berarti tidak adil.

      Terimakasih mbak Hani, Selanjutnya akan aku perbaiki dan tambahkan pandanganku.

      Hapus
  5. Mba lail, sepertinya tulisan Butler tentang gender ini ini mengandung banyak konsep ya. Selain itu aku juga masih bingung dengan kalimat "Beauvoir mengklaim bahwa wanita adalah situasi historis". Maksud "situasi historis" disini bagaimana ya mba? Karena aku belum menangkap maksud dari penjelasan diatas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam tulisan Butler ini, Beauvoir mencoba mendefinisikan perbedaan gender dan jenis kelamin khususnya pada wanita mbak.
      perbedaan itu dilihat dari definisi wanita sebagai ide sejarah dan wanita sebagai situasi sejarah.
      Sepemahaman saya, Beauvoir mencoba mendefinisikan kriteria dari wanita berdasarkan gender dan jenis kelamin dengan melihat aspek sejarah, baik secara ide maupun situasi. Yang saya tangkap disini, perbedaan sifat maskulin dan feminim bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruksi sosial dan pengaruh faktor budaya dari pendahulu kita.

      Hapus
    2. terimakasih responnya....

      Hapus
  6. Menarik bacaannya Mba Lail. Pada tulisan, Mbak Lail menyebutkan bahwa "Baik pandangan fenomenologi maupun feminis pada akhirnya tidak memiliki kategori yang universal untuk identitas gender dari “wanita”.", ini membuat saya jadi penasaran. Jadi selama ini yang menentukan gender apa harus melakukan apa itu konstruksi dari mana yah? Kita berperan sesuai gender kita tentunya dikonstruksikan melalui keluarga, lingkungan, maupun pendidikan. Tapi yang menentukannya itu siapa yah asalnya?

    Makasih ilmunya Mbak Laill :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru di sini Butler menekankan bahwa konstruksi sosial yang membentuk definisi gender berkembang di masyarakat terlalu bias sehingga kita tidak tau asal mula adanya kategorisasi dari setiap gender, baik itu maskulin, atau feminim.
      Aku setuju bahwa kita bertindak, berbahasa, atau menunjukkan diri sesuai gender kita tidak lepas dari pengaruh keluarga, lingkungan, pendidikan baik formal maupun non formal, dan semua nilai-nilai keyakinan yang kita anut.


      terimaksih responnya Far....

      Hapus
  7. Pemikiran Judith Butler terkait sex dan gender ini, sejalan dengan pemikirannya Robert J. Stoller yang dituangkan dalam karyanya yang berjudul Sex and Gender (1968). Stoller juga membedakan pengertian antara jenis kelamin/sex dengan gender. Bila jenis kelamin ini dilekatkan dalam konteks biologis, yang mana terkait dengan perbedaan anatomi tubuh antara laki-laki dengan perempuan. Untuk peristilahan gender sendiri terkait dengan aspek psikologis (isu-isu maskulin dan feminin), serta merupakan hasil dari konstruksi sosial. Artinya, gender tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi berada pada bahasa yang saling dipertukarkan. Contohnya, ada anggapan bahwa mainan robot-robotan dan mobil-mobilan hanya untuk anak laki-laki, sementara mainan boneka hanya untuk anak perempuan.
    Anggapan ini sejatinya keliru dan jangan dipelihara! Sebagai orangtua, sebaiknya memberikan kebebasan bagi anaknya dalam bermain, agar daya kreativitasnya berkembang sesuai dengan imajinasi anak. Bisa saja seorang anak laki-laki tidak suka bermain mobil-mobilan/robot-robotan, akan tetapi lebih senang main dengan boneka. Namun sang ayah/ibu melarangnya, bahkan memarahinya sehingga membuat anak tertekan. Hal itu bisa memengaruhi mental anak untuk ke depannya.
    #041, #SIK041

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih mas Yuli atas responnya....
      Seperti yang saya sebutkan tadi, tidak ada satu definisi pasti yang bisa membedakan setiap gender. jika jenis kelamin bisa dilihat secara fisik, beda halnya dengan gender.

      Hapus

Kirimkan ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Berbagi ke Google Buzz