tag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post2436465791302445715..comments2023-07-18T06:31:56.660-07:00Comments on SoUL: Antara Diri, Budaya Konsumen dan Gaya Hidup ~ Theories of Consumer CultureLailiyanrhttp://www.blogger.com/profile/14208431114488608848noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post-6143307267018963702017-03-20T18:41:58.438-07:002017-03-20T18:41:58.438-07:00Menarik pengantarnya dan paparannya Mbak Lailiya.....Menarik pengantarnya dan paparannya Mbak Lailiya.. masalahnya kalau di Indonesia kebijakan sangat berpihak pada budaya konsumerisme contoh berapa jumlah mall di Jakarta? Berapa jumlah penduduk berpenghasilan menengah ke atas di Jakarta? Seharusnya ada semacam kajian perimbangan kebutuhan pembangunan mall dengan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat, kenapa tidak diperbanyak model-model perpustakaan di mall misalnya. Kebijakan lain yang mendukung budaya konsumerisme di Indonesia adalah keberadaan bioskop yang mayoritas di dalam mall dan biasanya letak bioskop dekat dengan tempat kuliner. Akibatnya nonton bioskop biasanya satu rangkaian dengan makan. Ketiga, contoh kebijakan yang mendukung konsumerisme adalah keberadaan arena bermain yang bercirikan judi atau game seperti timezone, amazone,fun world, happy world yang secara luar biasa menguras kocek orang tua demi anak-anak mereka dari berbagai kalangan.handrinihttps://www.blogger.com/profile/06668405896481601438noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post-68444175930555119412017-03-20T08:10:48.776-07:002017-03-20T08:10:48.776-07:00‘Selalu mempelajari dan melihat lebih jauh untuk m...‘Selalu mempelajari dan melihat lebih jauh untuk mengetahui bagaimana budaya konsumen dari unsur tradisi, transformasi simbol dalam iklan, presistensi dan transformasi nilai barang, serta komodifikasi dan modernisasi budaya sehingga tidak terjebak dalam gaya hidup konsumsi’. Maaf, mbak Lail, ini terlalu teoritis, masih di awang-awang. OK, kita coba praktiskan, apakah mbak Lail termasuk generasi Millennial? (hahaha ). Kalau iya, apa alasan yang mendasarinya dan tolong kasih contohnya?; kalau tidak, kasih pula alasannya?; terus apakah budaya konsumerisme ini selalu berkonteks negatif?; jika iya, bagaimana cara konkret kita menghindari diri dari terpaan budaya konsumerisme tersebut? <br />#041, #SIK041Yuliyanto Budi Setiawanhttps://www.blogger.com/profile/00576222293051645568noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post-49400876003203822452017-03-20T07:18:44.686-07:002017-03-20T07:18:44.686-07:00Mba saya mau bertanya, menurut Baudrillard kan mas...Mba saya mau bertanya, menurut Baudrillard kan masyarakat konsumeris tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan dan tuntutan, melainkan lebih pada konsumsi sistem tanda. Contohnya misalnya sepatu Adidas Yeezy V3 keluaran baru yang harga retailnya seingat saya 3.8 Juta, namun karena limited edition, jadi banyak yang membeli kemudian dijual lagi dengan harga 10-20 juta per pasangnya. Dari sini kita melihat bahwa ada tanda yang dijual, berupa merk Adidas itu sendiri. Belum lagi ditambah dengan embel-embel limited edition nya yang membuat tuh spatu yg sebenarnya gak seberapa jadi mahal. Nah pertanyaannya adalah, bagaimana pada awalnya tanda itu bisa bernilai di mata masyarakat sehingga dapat menjadi seperti sekarang ini? Terima kasih atas ilmunya Mbak LaillRishafarhttps://www.blogger.com/profile/17843643862790903110noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post-66304918135665831382017-03-20T07:00:01.958-07:002017-03-20T07:00:01.958-07:00Sesuai dengan pendapat ketiga dari Featherstone, b...Sesuai dengan pendapat ketiga dari Featherstone, bahwa masalah kesenangan emosional untuk mengkonsumsi yang dinilai mampu memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenangan estetis<br />disebutnya sebagai bentukan sistem kapitalisme untuk membentuk budaya konsumerisme, tetapi ada pendapat yang berbeda dalam melihat budaya berbelanja berdasarkan psikologi lo mbak, atau mungkin ini bentuk dari pembelaan akan diri saya sendiri.. :D <br /><br />monggo di check..<br />http://jezebel.com/shopping-makes-you-happy-its-science-1510080517Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/01697586025843498065noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post-6981243460494743902017-03-20T02:19:59.239-07:002017-03-20T02:19:59.239-07:00Apalagi ya lail kalau sudah diiming-imingi dengan ...Apalagi ya lail kalau sudah diiming-imingi dengan diskon besar, duh semakin lah bias apa-apa yang sebetulnya dibutuhkan. Pokonya beli saja dulu, mumpung masih murah, nanti kalau ternyata ga kepake kan bisa dijual lagi di e-commerce. Kata di iklan sih, jual apa aja di situ ada, dan banyak yang cari. Jadi beli ya hanya untuk kepuasan saja, yee sudah punya. Kalau kemudian tak butuh atau bosan, ya ganti baru. Yak ampuun..entahlah apa yang sebetulnya dicari kalau sudah seperti itu ya. Macam remaja cari identitas diri. Iya itu kita -.-'Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/15885494836392858641noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5964137449499603293.post-82834523263619163452017-03-19T02:44:39.075-07:002017-03-19T02:44:39.075-07:00Sedihnya memang sekarang mau ketemuan sama orang s...Sedihnya memang sekarang mau ketemuan sama orang saja harus siap-siap dompet ya... itu yang mesti digaris bawahi, bahwa kini nilai guna sudah ditukar dengan nilai simbol. Orang tidak lagi membeli kebutuhan tetapi membeli sebuah prestise. Walaupun 'diakui' atau 'eksistensi' pun merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia ya. Bahaya budaya konsumen ini kurasa lebih berbahaya jika terjadi di kalangan menengah, karena mereka berusaha agar keberadaannya bisa diakui di kalangan atas -- dengan cara-cara yang cenderung memaksa kemampuan diri, sehingga banyak yang sampai tak bisa menabung bahkan defisit..Anonymoushttps://www.blogger.com/profile/14492522860348908770noreply@blogger.com