Seminar Media dan Minoritas

The Politics of Consumer Identity Work

16.31 Lailiyanr 6 Comments


Review kali ini mengenai kurasi dari Craig J. Thompson dalam “Journal of Consumer Research” (JCR).

Di sini, Thompson membahas mengenai lima artikel dalam JCR mengenai konsumen. Di awali dengan penjelasan dari Thompson mengenai identitas konsumen. Menurut Thompson melalui aktivitas konsumsi, konsumen menyebarkan semua sumber daya pasar yang ada untuk membentuk identitas pribadi maupun kolektif yang menentang stigma sosial dan keterbatasan yang berasal dari berbagai aspek seperti jenis kelamin, kelas, etnis, religiusitas, dan kebangsaan. Pada titik ini, identitas kerja konsumen menjadi mode dari "politik identitas" yang terkait erat dengan gerakan feminis pada tahunn 1960 dan penegasan akan ketidakadilan gender dari kekuasaan politik dan kesempatan sosio-ekonomi yang diwujudkan dalam peran sosial konvensional, norma, adat, dan status quo.

Politik identitas, menurut Thompson, muncul sebagai suatu bidang penelitian yang signifikan. Jika mengacu pada penjelasan Thompson sebelumnya, politik identitas berfokus pada gerakan perlawanan dari kelompok identitas tertentu yang dimarjinalkan. Sebagaimana pembahasan McNay (2010), analisis politik identitas cenderung menekankan tujuan yang berorientasi pada pengakuan yang berfokus pada perbedaan status sosial sehingga setiap orang berusaha mengejar pengakuan sosial dari masyarakat luas, dan analisis kedua mengenai jalur retribusi yang menekankan terpinggirnya perjuangan kelompok untuk mendapatkan distribusi sumber daya secara adil. Hal ini berkebalikan dengan teori budaya konsumen yang menunjukkan adanya pengakuan dan retribusi, khususnya ketika identitas kerja konsumen diarahkan untuk mengubah struktur pasar dengan cara memenuhi kepentingan kolektif mereka.

Pembahasan pertama ialah artikel dari Izbek-Bilgin yang menganalisis bentuk nyata dari politik identitas kerja konsumen dengan mengangkat kasus konsumen di Turki. Dalam artikelnya ini, Izbek-Bilgin mengatakan bahwa konsumen berusaha untuk mengubah status sistem dominan yang dinikmati oleh konsumen kelas menengah yang terbiasa dalam mengkonsumsi kode simbolik kebarat-baratan.

Studi kedua yang dibahas adalah tulisan dari Scraboto dan Fischer yang membahas identitas kerja yang dilakukan oleh konsumen akan terus bertambah karena konsumen mengubah stigma dari istilah “gemuk” (fat) menjadi “FATshionistas” untuk menciptakan identitas kolektif baru. Hal ini menunjukkan perlawanan akan standar tubuh ideal sehingga seseorang, khususnya wanita, dengan bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan kecantikan feminine yang berlaku tidak merasa dipinggirkan.

gambar dipinjam dari

Ketiga, Sandikci dan Ger memfokuskan penelitian mereka bukan terhadap identitas yang terpinggirkan, melainkan pada praktek konsumsi stigma. Mereka menelusuri bagaimana dan mengapa jilbab yang dulu identik dengan identitas wanita pedesaan kelas bawah kemudian diadopsi oleh minoritas perempuan Turki kelas professional perkotaan. Hal ini disebut dengan tesettürlü yang menunjukkan pengabdian perempuan terhadap agama dan perwujudan stabilitas agama dan tradisi. Sandikci dan Ger lebih lanjut menunjukkan bahwa wanita tesettürlü menggunakan jilbab sebagai sarana memberlakukan rasa memberdayakan kewanitaan dalam konteks norma patriarki. Jilbab kemudian menjadi fashion sekaligus usaha untuk membentuk identitas yang baik.

Artikel keempat adalah artikel dari Weinberger dan Wallendrof yang menggambarkan bagaimana politik identitas sering terkait dengan (dan tersirat dalam) praktek konsumsi dan ritual.
Dan yang terakhir adalah teorisasi dari U¨ stu¨ner dan Holt’s tentang bagaimana konsumsi status diwujudkan di negara-negara industri.

Dari kurasi ini terlihat bagaimana penelitian dilakukan dalam upaya mengubah stigma atau memperjuangkan kaum subaltern dan kesemuanya perempuan. Yang disayangkan, khususnya dalam kurasi ini, adalah pembahasan yang ada lebih cenderung pada perempuan dan bagaimana perlawanan yang dilakukan kaum minoritas perempuan. Padahal jika dilihat kembali, minoritas tidak selalu identik dengan perempuan saja. Perlu adanya pembahasan untuk kaum laki-laki minoritas dan bagaimana gerakan perlawanannya atau anak-anak dari sudut pandang minoritas serta kelompok minoritas yang lain.



Referensi:

You Might Also Like

6 komentar:

  1. Jadi kesimpulannya..aktivitas konsumsi, konsumen menyebarkan semua sumber daya pasar yang ada untuk membentuk identitas pribadi maupun kolektif yang menentang stigma sosial dan keterbatasan yang berasal dari berbagai aspek seperti jenis kelamin, kelas, etnis, religiusitas, dan kebangsaan ya Mbak Lailiya? Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, menarik juga ya penelitian singkat tentang etnik dan pilihan. Ternyata suku Betawi lebih banyak memilih Anis Sandi misalnya apakah karena pasangan tersebut getol menyuarakan identitas istri Sandi yang merupakan orang Betawi asli lengkap dengan kegemarannya akan semur jengkol ya..

    BalasHapus
  2. Menarik juga jika melihat fatshionista di atas ya. Rasa-rasanya, meskipun tampak merupakan bentuk perlawanan atas gambaran tubuh yang ideal, namun dalam beberapa hal identitas kolektif tersebut hanya cenderung melanggengkan gambaran yang ada, hanya dalam bentuk alternatif. Bahwa bentuk tubuh yang besar pun oke, selama kamu masih fashionable.

    BalasHapus
  3. Jika dilihat dari beberapa contoh di atas, maka ketika kelompok minoritas mencoba melakukan perlawanan dengan memelintir sebuah budaya populer, pada akhirnya mereka hanya 'memelintir' dan bukan secara total mengubah standar yang ada seperti kata mba Hani. Pakem yang dipegang tetap pakem budaya populer, melanggengkannya dengan cara memperluas objeknya..

    BalasHapus
  4. Serupa dengan fatshionable.. Gender neutral fashion ini juga merupakan contoh dari bentuk upaya designer dalam mencoba untuk menentang stigma sosial dan keterbatasan yang berasal dari berbagai aspek terutama jenis kelamin.

    https://www.theguardian.com/fashion/2014/aug/11/-sp-the-rise-of-gender-neutral-fashion

    BalasHapus
  5. Melihat adanya fenomena fatshionista ini, apa yang dilakukan mereka memang mengambil intisari dari budaya populer, kemudian mengubahnya menjadi versi mereka sendiri. Ini dilakukan agar mereka yang tidak sesuai dengan standar pasar dapat menciptakan fashion mereka sendiri sehingga dapat membuktikan bahwa orang-orang dengan bentuk tubuh berlebih juga dapat tampil menarik.

    BalasHapus
  6. Teoritis banget! Maaf, namun hal inilah yang saya rasakan ketika membaca artikelnya mbak Lailiya di atas, padahal menarik untuk mempelajari sekaligus mengaplikasikan pentingnya politik identitas dalam era yang ‘penuh’ pencitraan seperti saat ini, terlebih bila politik identitas itu dikaitkan dengan individu/diri sendiri. Mengapa?, karena melalui politik identitas, individu-individu dapat membangun konsep dirinya melalui berbagai saluran media yang tersedia, untuk menjadi seperti apa yang dia inginkan. Sementara itu, terkait dengan konteks politik identitas ini, ada beberapa pertanyaan buat mbak Lailiya, yakni antara lain: bagaimana pandangan Anda terkait politik identitas?, apakah Anda pernah melakukan politik identitas dalam kehidupan sehari-hari?, Kalau sudah, contohnya seperti apa?, Kalau belum pernah, kenapa?
    #041, #SIK041

    BalasHapus

Kirimkan ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Berbagi ke Google Buzz