Seminar Media dan Minoritas

Signifikansi, Representasi, dan Ideologi: bagaimana memandang kritik Althusser dan Perdebatan dalam Post-Strukturalis

06.43 Lailiyanr 6 Comments


gambar dari sini
Kali ini kita review Esai yang berjudul  "Signification, representation, ideology: Althusser and the poststructuralist debates" oleh Stuart Hall. Meskipun aku pribadi agak "merangkak" dalam membacanya di awal, tapi mari kita coba ulas apa yang dipikirkan oleh Althusser dan Hall.

Hall dalam esainya ini membahas tentang solusi yang ditemukan Louis Althusser (1918-1990), seorang filsuf Marxis yang sering dikaitkan dengan strukturalisme, untuk penciptaan makna tanpa bertentangan dengan konsep post-strukturalis Derrida, yaitu differance dan deferral. 
Esai ini memungkinkan kita memikirkan kembali ideologi dengan cara yang berbeda secara signifikan.  

Mengacu pada pemikiran Althusser mengenai Marxisme Ortodoks, Hall, mengaitkan pembahasannya dengan fakta kedatangan Althusser untuk menghargai adanya perbedaan sosial dan kontradiksi yang menantang penjelasan ilmu pengetahuan oleh Marxis. Menurut Hal, 
“Althusser adalah tokoh kunci dalam teori modern yang jelas melanggar beberapa protokol lama dan memberikan alternatif persuasif secara luas dalam hal Marxis”. 
Dalam esai ini Hall membahas kritik Althusser tentang konsep ideologi, konsep negara, konsep differance dan unity, kesadaran palsu, dan pengertian “teori”.


Berbicara mengenai ideologi, tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai “negara”. Negara bagi sebagian besar Marxis, menurut Foucault, adalah sebuah objek tunggal yang menjadi salah salah satu situs penting dalam tatanan sosial kapitalis modern. Negara memiliki kecenderungan yang sangat berbeda dan dominan tetapi tidak memiliki karakter kelas tunggal tertulis. Negara adalah contoh dari bagaimana perbedaan dapat bekerjasama dalam praktek penerapan sistem regulasi, aturan dan norma, normalisasi, di masyarakat. Dan terobosan Althusser mengenai konsepsi monistis dari Marxisme yang akhirnya menuntut teorisasi differance dapat membantu memahami bagaimana konsep negara. Hal ini diungkapkan Althusser dalam esai berjudul “Ideologi Aparatur Negara”.

Althusser mengakui bahwa dia tidak ingin sepenuhnya berpaku pada konsep dekonstruksi milik Derrida. Althusser menemukan jalan tengah antara differance dan unity. Hall merumuskan ini dengan konsep Artikulasi. Artikulasi adalah sebuah bentuk hubungan yang dapat membuat dua elemen berbeda menjadi satu kesatuan dalam kondisi tertentu. Artikulasi antara differance dan unity melibatkan cara yang berbeda dalam mengkonseptualisasikan kembali kunci dari konsep Marxist tentang determinasi.

Selain kritik mengenai konsep differance milik Derrida, Althusser juga mengkritik konsep ideologi klasik dari Marx yang menyebutkan bahwa ide-ide yang berkuasa selalu sesuai dengan ide setiap kelas penguasa, dan kelas penguasa memiliki pemikiran tersendiri yang terletak dalam ideologi tertentu. Sayangnya, kita tidak mungkin untuk memahami alasan kelas penguasa bisa mengetahui kemajuan dalam situasi sejarah yang sesungguhnya dengan berbagai ideologi yang berbeda dalam satu waktu atau di waktu yang berbeda. Juga mengapa ada perjuangan internal, dalam semua tatanan politik, selama sesuai "ide-ide" melalui kepentingan kelas dominan yang harus diamankan. Atau mengapa, untuk tingkat signifikansi di banyak tatanan sosial sejarah yang berbeda, kelas dominan menggunakan "ide dominan" untuk menafsirkan dan menentukan kepentingan mereka. 

Kritik Althusser yang lainnya adalah konsep “kesadaran palsu” yang, menurutnya, mengasumsikan bahwa terdapat satu ideologi yang dianggap benar dari setiap kelas, namun tetap saja ideologi dominan akan mengalahkan kebenaran dari ideologi lainnya dengan menjelaskan kegagalan mereka. “Kesadaran palsu” ini kemudian membuat orang lain tersihir oleh ideologi dominan, yang kemudian menjadi korban penipuan sejarah. Kita dibentuk oleh proses ideologi secara tak sadar, dalam posisi tanpa ada signifikansi makna ideologis yang memungkinkan. 

gambar dari sini

Kritik Althusser selanjutnya berkembang dari pengertian mengenai teori. Menurut Althusser, pengetahuan harus diproduksi sebagai konsekuensi dari pengalaman tertentu. Pengetahuan, baik sebagai ideologi maupun ilmiah, adalah produksi dari pengalaman yang sudah terlaksana, bukan refleksi dari kenyataan dalam wacana atau bahasa.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, esai Althusser “Ideologi Aparatur Negara” memiliki pengaruh yang kuat dalam perdebatan mengenai teoritisasi differance. Terdapat tiga proporsisi dalam esai ini. Proporsisi pertama, Althusser mencoba untuk memikirkan hubungan antara ideologi dengan praktek sosial lainnya dalam konsep reproduksi. Ideologi kemudian berfungsi untuk mereproduksi hubungan sosial yang diperlukan untuk membentuk tatanan sosial kapitalis. Hanya saja, yang menjadi masalah kemudian, ideologi yang dimaksudkan oleh Althusser adalah ideologi yang berasal dari kelas dominan dan berfunsi untuk mereproduksi dominasi ideologi dominan. Dengan demikian, tidak ada penjelasan mengenai bagaimana ideologi kelas dominan diproduksi dan direproduksi, tentang ideologi perlawanan, pengucilan, penyimpangan, dan semua yang berhubungan dengan ideologi subordinat. 
Althusser juga mendefinisikan ideologi sebagai sistem representasi terhadap konsep diri dan hubungannya dengan orang lain. Sistem representasi yang dimaksudkan adalah sistem makna yang mewakili dunia kita dan dunia orang lain. Dengan demikian sistem representasi ideologi tidaklah tunggal karena ada sejumlah sistem representasi dalam tatanan sosial. Sayangnya, gagasan ideologi dominan dan ideologi subordinat bukanlah cara yang memadai untuk mewakili interaksi yang kompleks dari wacana ideologi yang berbeda dan tatanan sosial dalam masyarakat modern.

Proporsisi kedua adalah adanya desakan yang mengatakan bahwa ideologi merupakan pengalaman atau kebiasaan, yang berarti ideologi tercipta dari rutinitas aparatur negara yang represif, tidak hanya militer tapi juga aparat negara yang ideologis, seperti gereja, serikat buruh, dan media yang tidak diatur secara langsung oleh Negara. Ideologi adalah kerangka berpikir dan perhitungan tentang dunia yang digunakan untuk mencari tahu bagaimana dunia sosial bekerja. Dalam hal ini Althusser menempatkan penekanan pada ide yang muncul, peristiwa yang terjadi sebagai fenomena sosial, khususnya bahasa yang dipadami sebagai penanda pengalaman yang melibatkan penggunaan simbol, makna domain, dan representasi. 

Dan proporsisi ketiga adalah penegasan mengenai ideologi yang menurut Althusser hanya ada berdasarkan kategori dari “subjek”. Ideologi tercipta karena adanya subjek dan subjektivitas. Althusser berusaha menjelaskan bagaimana ideologi menginterpelasi kita dalam ranah imajiner. Sayangnya, Althusser kemudian masih tidak bisa menjelaskan bagaimana proses ideologi terbentuk baik oleh negara atau oleh lembaga swasta masyarakat sipil, bagaimana kemudian proses bawah sadar menerima posisi ideologi yang diberikan.

Pada akhir tulisannya, Hall memberikan contoh mengenai pengalaman pribadinya akan bahasa saat dia tinggal di Karibia, di Inggris, dan di Jamaika. Dia menjelaskan bagaimana sistem klasifikasi diterapkan dan bagaimana representasi akan sebuah wacana sangat mempengaruhi diterimanya ideologi dominan. Serta, bagaimana konsep gerakan sosial bergeser sebagai hasil dari perjuangan di sekitar rantai konotasi dan praktek-praktek sosial yang membuat rasisme mungkin melalui pembangunan negatif "orang kulit hitam." 
Yang disayangkan dalam pembahasan ini adalah meskipun Hall mencoba cara yang lebih sederhana dan lebih produktif dalam memikirkan tentang ideologi, namun penjelasannya justru cenderung berbelit-belit dan terjebak dalam proporsisi yang diajukan oleh Althusser tanpa bisa menjelaskan bagaimana posisi ideologi dominan dan ideologi subordinat itu sendiri.


Referensi:
Hall, S. (2005). Critical Dialogues in Cultural Studies. edited by Morley, D and Chen, K.H

You Might Also Like

6 komentar:

  1. Aku cukup kesulitan untuk memahami ini, mungkin pemikiran Althusser yang sangat kompleks atau penjabaran Hall yang kurang mendetil sehingga kesannya banyak yang mengawang, seperti kritik Althusser terhadap konsep-konsep terdahulu apakah sifatnya menambahkan atau justru oposisi. Tetapi, cukup dipahami ya bahwa ideologi dominan tercipta atas pemikiran kelompok tertentu berdasarkan kepentingan mereka dan digunakan sebagai common sense masyarakat dominan, dan penyebarannya melibatkan banyak institusi. Thank you mba Lail sharingnya! :)

    BalasHapus
  2. hmm..aku juga kesulitan untuk menangkap benang merah dari review ini mba..

    tapi semoga apa yang aku temukan ini bisa menjadi pencerahan untuk kita ya..

    http://www.willtemple.com/teaching/culture_seminar_07/2007/09/hall_the_problem_of_ideology_m.html

    BalasHapus
  3. Aku tengah membayangkanmu menelusuri dua pemikiran teoris di atas lail, kayaknya banyak dipenuhi dengan istilah-istilah ya, beberapa di antaranya aku juga belum faham, seperti difference, deferral, minostis. Mungkin untuk dapat memahami secara utuh, ada baiknya juga ya kita selami dulu pemikiran althusser itu sendiri. Hingga kita bisa faham titik berdiri hall saat membicarakan pandangan althusser.

    Aku membaca tulisan di link ini : https://rommelpasopati.wordpress.com/2013/07/18/louis-althusser-antara-ideologi-dan-kesadaran/ , dan cukup membantu untuk memahami hal di atas.

    Terima kasih ya lail sudah berbagi :)

    BalasHapus
  4. Aku juga cukup kesulitan memahami review Mbak Lail, tapi aku mencoba menangkap intisari dari reviewnya. Jadi intinya Althusser ini mengkritik ideologi, negara, konsep difference dan unity, kesadaran palsu, dan teori. Ideologi berkaitan degan negara, yang kemudian melahirkan teorisasi mengenai difference dan kaitannya dengan artikulasi, kesadaran palsu, dan pengertian dari teori itu sendiri.

    Ideologi yang dominan, dalam hal ini merupakan iedologi dari kelompok yang kepentingan kemudian diinternalisasikan dalam berbagai bentuk institusi. Maka dari itu, selama ideologi merupakan ideologi dominan, terlepas dari salah atau benar, ideologi itu akan tetap ada tanpa kita sadari.

    Kalau dikaitkan dengan media, media merupakan salah satu institusi yang dapat terus melanggengkan ideologi kelompok dominan.
    Mohon dikoreksi kalau salah ya, Mbak Laill.

    BalasHapus
  5. Review di atas menurut Saya agak mengambang. Saya agak kesulitan memahami pemikiran dari Louis Althusser, yang diambil dari esainya Stuart Hall. Ada beberapa kemungkinan hal ini bisa terjadi. Apakah karena pemikiran Althusser yang cukup kompleks?, atau apakah karena esainya Hall yang tidak runtut?, atau apakah karena penulis (Mbak Lailiya) yang belum menyederhanakan esai tersebut?, sehingga belum mudah dimengerti oleh pembaca. Akan tetapi secara garis besar, dapat dikatakan dan juga dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ideologi dominan yang terus berkembang di masyarakat, dan penyebaran dari ideologi tersebut melalui berbagai cara.
    #041, #SIK041

    BalasHapus
  6. Sebagai tambahan mba Lailiya, pertama adalah Althusser ini punya konsep yang cukup terkenal yaitu ideological state apparatus (ISU) dan repressive state apparatus (RSU). ISU itu lebih kepada ideologi yang dijaga dan terus dibentuk oleh media, agama, budaya dan lain sebagainya. Kalau RSU itu dibentuk oleh aparat negara seperti polisi, jaksa, hakim dll.
    Trus sedikit masukan juga, ada baiknya jika dalam penulisan kita menuliskan nama lengkap dari pakar yang dimaksud diawal paragraf, baru setelah itu kita lanjutkan dengan nama belakangnya. Misalnya diatas mba Lail langsung nulis Hall dari awal, ditakutkan kalau orang awam yang belum paham, mereka akan bertanya2 Hall yang mana?

    BalasHapus

Kirimkan ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Berbagi ke Google Buzz